SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA MASA PENJAJAHAN JEPANG
Pendahuluan
Jepang
menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah hindia belanda dalam
perang dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1942, dengan
membawa semboyan Asia Timur Raya untu Asia dan semboyan Asia Baru.
Jepang menjajah Indonesia hanya seumur jagung yaitu selama tiga tahun
dari tahun 1942-1945. Namun, walaupun dalam waktu yang sangat singkat
tersebut penjajahan jepang di Indonesia banyak memberikan perubahan baik
dari segi social masyarakat maupun bangsa termasuk didalamnya aspek
pendidikan islam.
Pada
babak pertamanya pemerintah jepang menampakkan diri seakan-akan membela
kepentingan islam yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan perang
dunia ke II.
A. Pendidikan Masa Jepang
Didorong
semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari
rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan
China, Kepulauan Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China
dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang, negera ini mulai melakukan
ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan konsep
“Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk
Bangsa Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah
potensial yang akan menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah
dunia yang menuntut dukungan militer kuat, Jepang mengelola pendidikan
di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini. Sehingga
dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat
dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan
Pasifik.
Setelah
Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang
Jawa dan akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah
Jepang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era
kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa
Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa
Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya
sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem
pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan
sebagai berikut: (1) Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat).
Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan
konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa
Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. (3) Pendidikan
Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di
bidang pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian. (4)
Pendidikan Tinggi.
Guna
memperoleh dukungan tokoh pribumi, Jepang mengawalinya dengan
menawarkan konsep Putera Tenaga Rakyat di bawah pimpinan Soekarno, M.
Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan K.H. Mas Mansur pada Maret 1943. Konsep
ini dirumuskan setelah kegagalan the Triple Movement yang tidak
menyertakan wakil tokoh pribumi. Tetapi PTR akhirnya mengalami nasib
serupa setahun kemudian. Pasca ini, Jepang tetap merekrut Ki Hajar
Dewantoro sebagai penasehat bidang pendidikan mereka. Upaya Jepang
mengambil tenaga pribumi ini dilatarbelakangi pengalaman kegagalan
sistem pendidikan mereka di Manchuria dan China yang menerapkan sistem
Nipponize (Jepangisasi). Karena itulah, di Indonesia mereka mencobakan
format pendidikan yang mengakomodasi kurikulum berorientasi lokal.
Sekalipun patut dicatat bahwa pada menjelang akhir masa pendudukannya,
ada indikasi kuat Jepang untuk menerapkan sistem Nipponize kembali,
yakni dengan dikerahkannya Sendenbu (propagator Jepang) untuk menanamkan
ideologi yang diharapkan dapat menghancurkan ideologi Indonesia Raya .
Jepang
juga memandang perlu melatih guru-guru agar memiliki keseragaman
pengertian tentang maksud dan tujuan pemerintahannya. Materi pokok dalam
latihan tersebut antara lain: (1) Indoktrinasi ideologi Hakko Ichiu;
(2) Nippon Seisyin, yaitu latihan kemiliteran dan semangat Jepang; (3)
Bahasa, sejarah dan adat-istiadat Jepang; (4) Ilmu bumi dengan
perspektif geopolitis; serta (5) Olaharaga dan nyanyian Jepang.
Sementara untuk pembinaan kesiswaan, Jepang mewajibkan bagi setiap murid
sekolah untuk rutin melakukan beberapa aktivitas berikut ini: (1)
Menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo setiap pagi; (2)
Mengibarkan bendera Jepang, Hinomura dan menghormat Kaisar Jepang, Tenno
Heika setiap pagi; (3) setiap pagi mereka juga harus melakukan Dai Toa,
bersumpah setia kepada cita-cita Asia Raya; (4) Setiap pagi mereka juga
diwajibkan melakukan Taiso, senam Jepang; (5) Melakukan latihan-latihan
fisik dan militer; (7) Menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar
dalam pendidikan. Bahasa Jepang menjadi bahasa yang juga wajib
diajarkan.
Setelah
menguasai Indonesia, Jepang menginstruksikan ditutupnya sekolah-sekolah
berbahasa Belanda, pelarangan materi tentang Belanda dan bahasa-bahasa
Eropa lainnya. Termasuk yang harus ditutup adalah HCS, sehingga memaksa
peranakan China kembali ke sekolah-sekolah berbahasa Mandarin di bawah
koordinasi Hua-Chino Tsung Hui, yang berimplikasi pada adanya proses
resinification (penyadaran dan penegasan identitas sebagai keturunan
bangsa China). Kondisi ini antara lain memaksa para guru untuk
mentranslasikan buku-buku berbahasa asing kedalam Bahasa Indonesia untuk
kepentingan proses pembelajaran. Selanjutnya sekolah-sekolah yang
bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi.
Jepang juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk
kepentingan kontrol, maka sekolah swasta harus mengajukan izin ulang
untuk dapat beroperasi kembali. Taman Siswa misalnya terpaksa harus
mengubah Taman Dewasa menjadi Taman Tani, sementara Taman Guru dan Taman
Madya tetap tutup. Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang
luar biasa bagi dunia pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan
operasonalisasi pendidikan lainnya.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain:
(1)
Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang
dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam
sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di daerah-daerah dibentuk Sumuka;
(2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang;
(3)
Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan
dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal
Arifin;
(4) Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta;
(5)
Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela
Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman
kemerdekaan; dan
(6)
Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi,
sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah
dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai
aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu
perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
B. Akhir Pendudukan Jepang
Perang
dunia ke II menghebat dan tekanan pihak sekutu kepada jepang makin
berta. Beberapa tahun menjelang berakhirnya perang itu tampak semakin
jelas betapa beratnya jepang menghadapi musuh dari luar dan oposisi dari
rakyat Indonesia sendiri. Dari segi militer dan social politik di
Indonesia jepang menampakkan diri penjajah yang sewenang-wenang dan
lebih kasar daripada penjajah belanda. Kekayaan bumi Indonesia
dikumpulkan secara paksa untuk membiayai perang Asia Timur Raya,
sehingga rakyat menderita kelaparan dan hamper telanjang karena
kekurangan pakaian. Di samping itu rakyat dikerahkan kerja keras
(romusha) untuk kepentingan perang.
Jepang
membentuk badan-badan pertahanan rakyat seperti heiho, Peta,
Keibodan,dll. Sehingga pederitaan rakyat secara lahit batin makin tak
tertahankan lagi. Maka timbullah pemberontakan- pemberontakan baik dari
golongan Peta maupun oposisi dari para alim ulama, sehingga banyak kyai
yang ditangkap dan dipenjarakan oleh jepang.
Dunia
pendidikan secara umum terbengkalai, karena murid-murid sekolah tiap
hari hanya disuruh gerak badan, baris berbaris, bekerja bakti (romusha),
bernyanyi dan lain sebagainya. Yang masih agak beruntung adalah
madrasah-madrasah yang berada dalam lingkungan pondok pesantren masih
dapat berjalan dengan agak wajar.
0 komentar:
Posting Komentar