PKI adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam
sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan
pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI
Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di
Jakarta pada tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa
G30S/PKI.
Sejarah PKI - Mengungkap Fakta Komunis Indonesia
Benar yang dikatakan para pakar sejarah bahwa konstruksi sejarah sangat
ditentukan oleh subjektivitas pembuat narasi suatu sejarah. Fakta
sejarah akan tampak berbeda jika ditunggangi suatu kepentingan. Dalam
suatu narasi sejarah yang sama, di tangan si A bisa jadi berbeda alur
narasinya di tangan si B. dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa
subjektivitas narator punya andil cukup besar dalam merekonstruksi suatu
sejarah.
Menurut Rex Mortimer, itulah yang dialami komunisme
(PKI) di Indonesia. Rex Mortimer, dalam bukunya Indonesian Communism
Under Sukarno; Ideologi dan Politik 1959-1965, mengungkapkan bahwa fakta
sejarah komunisme di Indonesia telah didistorsi oleh Barat. Alasannya,
Barat, yang notabene antikomunisme khawatir jika komunisme diabaikan
begitu saja, akan berkembang pesat dan menandingi kekuatan mereka.
Fakta
sejarah bahwa komunisme menaruh perhatian besar terhadap para pekerja,
buruh pabrik, petani miskin, buruh pabrik, serta kaum-kaum marjinal
lainnya telah dinihilkan. Kemudian dibangun dengan menghadirkan sosok
komunisme sebagai sebuah momok sekaligus musuh bersama (common enemy).
Akademisi
Barat memunculkan tiga stereotipe terhadap komunisme di Indonesia.
Stereotipe itu merusak pemahaman tentang peran dan kontribusi politik
PKI yang sangat menonjol di era 1950 sampai pertengahan 1960-an.
Pertama, jutaan orang Indonesia yang bernaung di bawah bendera PKI hanya
bisa mengekspresikan jerit tangis penderitaan yang dialami lantaran
menjadi korban perubahan social pasca kemerdekaan.
Kedua, sejak
rencana stabilisasi ekonomi pada 1963, kaum komunis sengaja menciptakan
kekacauan ekonomi di tahun-tahun akhir era Sukarno guna mengambil alih
kekuasaan. Ketiga, akibat kekhawatiran Barat, menyatakan jika Indonesia
menjadi negara komunis, ia akan membantu dominasi China dan mengancam
stabilitas keamanan negara-negara nonkomunis. Akhirnya ketiga stereotipe
itu pun hanya isapan jempol dan tidak terbukti kebenarannya.
Selain
itu, Rex Mortimer, dalam karyanya kali ini, mengajak kita meneladani
ideologi sekaligus politik yang diaplikasikan oleh PKI. Bagaimana bisa
partai pinggiran yang tidak mencolok mampu bermetamorfosis menjadi
sebuah partai terdepan dengan cepat. Prokaum marjinal dijadikan patokan
utama dalam mengorganisasi massa. Kaum marjinal bukan hanya kelinci
politik, namun kesejahteraannya menjadi orientasi utama berpolitik.
PKI
juga merangkul orang sekaliber Sukarno untuk mampu merangsek dengan
mudah ke parlemen sehingga PKI menjadi partai yang cukup dipertimbangkan
dalam kancah nasional kala itu. Nasionalisme pun dijadikan ideologi
mereka sehingga tak perlu ditanya lagi seberapa besar cinta PKI terhadap
tanah air.
Buku ini mengajak kita untuk menguak sistem politik
serta ideologi PKI yang selama ini terdistorsi oleh bangsa Barat
sehingga beredar di sekitar kita bahwa PKI merupakan sebuah partai yang
menjadi musuh negara. Selain itu, pembaca akan diajak bersama-sama
membuka tabir yang selama ini terpendam terkait sejarah PKI. Peristiwa G30SPKI
Menjelang akhir masa demokrasi Terpimpin, PKI
memperoleh kedudukan strategis dalam percaturan politik di Indonesia.
Kondisi ini diperoleh berkat kepiawaian Dipa Nusantara Aidit dan
tokoh-tokoh PKI lainnya untuk mendekati dan mempengaruhi Presiden
Soekamo. Melalui cara ini, PKI berhasil melumpuhkan lawan-lawan
politiknya sehingga suatu saat PKI akan dengan mudah dapat melaksanakan
cita-cita menjadikan negara Indonesia yang berlandaskan atas paham
komunis.
Kendati demikian, PKI belum berhasil melumpuhkan Angkatan Darat yang
pimpinannya tetap dipegang para perwira Pancasilais. Bahkan pertentangan
antara PKI dan Angkatan Darat semakin meningkat memasuki tahun 1965.
PKI melempar desas-desus tentang adanya Dewan jenderal di tubuh AD
berdasarkan dokumen Gilchrist. Tuduhan itu dibantah AD dan sebaliknya,
AD menuduh PKI akan melakukan perebutan kekuasaan.
PKI menganggap TNI terutama Angkatan Darat merupakan penghalang utama
untuk menjadikan Indonesia negara komunis. Oleh karena itu, PKI segera
merencanakan tindakan menghabisi para perwira TNI AD yang menghalangi
cita-citanya. Setelah segala persiapan dianggap selesai, pada tanggal 30
September 1965 PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan. Aksi
ini dinamai Gerakan 30 September atau G 30 S/PKI. Gerakan ini dipimpin
Letkol Untung Sutopo, selaku Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa.
Pada 1 Oktober 1965 dinihari pasukan pemberontak menyebar ke segenap
penjuru Jakarta. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam perwira
tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban keganasan PKI
tersebut ialah
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani,
2. Mayor Jenderal R. Suprapto,
3. Mayor Jenderal S. Parman,
4. Mayor Jenderal M.T. Haryono,
5. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Kompartemen/Kepala Staf
Angkatan Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri
dari upaya penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani
meninggal setelah peluru penculikmenembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu
tewas pula Lettu Pierre Andreas Tendean, ajudan A.H. Nasution yang
dibunuh karena melakukan perlawanan terhadap PKI. Demikian pula Brigadir
Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika mengawal rumah Wakil
Perdana Menteri(Waperdam) II Dr. J. Leimena, yang rumahnya berdampingan
dengan Jenderal A.H. Nasution.
Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI beramai-ramai menyiksa
dan membunuh para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke
dalam sumur kering dengan kedalaman 12 meter. Para pemberontak kemudian
menyumbat lubang tersebut dengan sampah dan daun-daun kering.
Bagaimanakah sesungguhnya kejadian saat itu ?
Simaklah penuturan saksi mata peristiwa G 30 S/PKI, Letkol (Purn) Pol. Sukitman yang lolos dari upaya pembunuhan!Pada 30 September malam dan menjelang dinihari 1 Oktober 1965,
saya dengan mengendarai sepeda tengah patroli di Jalan Iskandarsyah,
Kebayoran Baru. Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Ketika saya cek,
saya dihadang pasukan Cakrabirawa. Saya kemudian diseret dan dimasukkan
di kabin sebuah bus di samping sopir. Dengan todongan senjata, kedua
tangan saya diikat ke belakang, dan kedua mata saya ditutup kain. Saya
baru tahu beberapa hari kemudian tembakan itu berasal dari rumah
Jenderal D.I. Panjaitan.
Dari bus, saya kemudian diturunkan di sebuah tempat. Dan ketika
tutupan mata saya dibuka, masih dalam suasana remang-remang saya melihat
di sekitarnya telah penuh dengan pasukan sukarelawan (sukwan) dan
sukarelawati (sukwati) Pemuda Rakyat dan Gerwani. Saya kemudian dibawa
ke dalam tenda. Di sini saya mendengar kata-kata. Yani wis dipateni
(Yani telah dibunuh). Saya juga melihat ada orang yang telentang
berlumuran darah, dan ada yang duduk sambil diikat tangan dan ditutup
matanya. Kemudian saya ditawan di sebuah rumah, bentuknya seperti
sekolah emperan, karena ada bangku-bangku dan papan tulis. Di tempat
ini, menjelang matahari terbit, saya menyaksikan satu persatu tawanan
itu diseret dan kemudian diceburkan ke sumur, mereka kemudian ditembaki.
Tembakan diarahkan dari kepala hingga kaki. Sementara para sukwan dan
sukwati dengan bersorak-sorak meneriakkan yel-yel Ganyang Kapbir
(kapitalis birokrat) dan Ganyang nekolim.
Saat penyiksaan, saya benar-benar ngeri dan takut. Saya hanya pasrah
kepada Tuhan. Saya sendiri tidak tahu, kalau yang disiksa itu para
pahlawan revolusi. Waktu itu saya menyangka mereka para kapbir seperti
yang disebutkan oleh PKI. Saya juga tidak tahu kalau tempat yang banyak
pohon karetnya itu Lubang Buaya.
Di sini, saya juga melihat seorang berbadan pendek dan gemuk terikat
tengah diseret-seret dengan todongan senjata. Matanya ditutup. Kemudian
orang itu, didudukkan di kursi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu.
Tapi ketika orang itu menolak, ia diikat kembali. Kemudian diseret dan
diceburkan ke sumur, untuk kemudian ditembaki seperti yang dialami
rekan-rekannya. Saya baru tahu kemudian, orang itu adalah Jenderal S.
Parman. Setelah semua korban dimasukkan ke sumur, kira-kira pukul 08.00
pagi, para sukwan dan Sukwati beramai-ramai menutupi sumur dengan sampah
dan daun pohon yang telah kering. Saya kemudian dipanggil Lettu Dul
Arif dan Letnan Siman, keduanya dari Cakrabirawa yang menjadi komandan
penculikan para jenderal. Lettu Dul Arif mengembalikan senjata saya,
carabine jungle yang sudah patah kayunya.
Pada sore hari, saya dibawa Lettu Dul Arif ke sebuah lapangan di
Halim Perdanakusuma, dekat Penas. Kemudian saya bersama Iskak, sopir
Lettu Dul Arif mengambil nasi ke suatu tempat dekat markas provost AURI.
Kemudian kembali iagi ke daerah Halim untuk membagi-bagikan nasi. Di
sini saya tertidur sampai pagi.
Pada 2 Oktober 1965, saya melihat satuan-satuan Cakrabirawa
telah berganti pakaiannya. Bila sebelumnya mereka memakai jaket dan
seragam coklat, kini loreng-loreng. Pada sore hari, saya berada
sendirian, karena lelah saya berteduh di bawah kolong bus dan kemudian
tertidur. Dalam keadaan sadar tidak sadar, kemudian saya mendengar
suara-suara tembakan. Mendengar tembakan, pasukan yang dipimpin oleh Dul
Arif lari kocar-kacir menggunakan truk-truk dan saya ditinggalkan
sendirian. Saya menganggap kejadian ini sebagai mukjizat dari Allah swt.
Bagaimana jadinya kalau saya tidak tidur, dan ikut bersama dengan
pasukan pemberontak. Atau mereka menembak mati saya terlebih dahulu.
Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu
menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka
Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang
akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya
“Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap
Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada
sorehari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas
menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Tentang Lambang PKI
Lambang "sakral" (sebenarnya kurang tepat jika dikatakan lambang PKI,
tapi harusnya lambang komunis, karna negara komunis lainya juga
menggunakan lambang ini, bukan hanya PKI ) ini membuat sebagian orang
yang melihat merinding melihatnya maupun mendengarnya, teringat
"sejarah" masa lalu yang kelam PKI dipelajaran sekolah waktu duduk di
bangku SD. Puncak-puncaknya pada masa pemerintahan Soeharto.
Ane teringat dulu ada yang bilang: "huss.. jangan bawa gambar nanti ditangkap/diculik/dibunuh loh?" dan
apabila ada gambar tokoh yang dibenci terutama tokoh politik dicoret
logo tersebut diatasnya yang menandakan penghinaan sebesar-besarnya
(maksud yang mencoret), bahkan ada yang mengidentikkan lambang palu arit
ini ibarat senjata tajam yang mencerminkan kekejaman, kekerasan dan
merah ibarat kekuasaan dan pertumpahan darah???
Tapi selama ini apakah anda tahu maksud sebenarnya dari lambang di atas Lambang
palu dan sabit yang menjadi simbol dari komunis memiliki sejarah yang
tidak ada hubungannya dengan komunisme. Simbol palu mewakili para buruh
dan sabit mewakiti para petani. Setelah revolusi industri di Eropa, kaum
buruh dan petani semakin terpinggirkan dan tertindas. Simbol palu dan
sabit yang menyilang muncul sebagai bentuk pengkomunikasian bersatunya
kaum buruh dan petani dalam revolusi Bolshevik tahun 1917 di Rusia. Di
tahun-tahun berikutnya, lambang palu dan sabit menjadi simbol
pemberontakan, bahkan sampai sekarang.
Revolusi para pekerja yang tergolong kalangan bawah tersebut mengundang
perhatian dunia. Mereka yang menyepelekan kaum pekerja tidak mengira
akan kekuatan yang dimiliki oleh persatuan kaum buruh dan petani. Pihak
komunis-sosialis, yang sebelumnya menggunakan bendera merah atau sering
dikenal dengan tentara merah, memanfaatkan simbol pekerja tersebut
sebagai lambang bendera partai komunis. Tahun 1922 penggunaan lambang
palu dan sabit menyilang dengan latar belakang merah diresmikan menjadi
bendera komunis di seluruh dunia.
Simbol merupakan kode untuk
berkomunikasi atau pertukaran informasi dalam interaksi sosial. Dari
uraian diatas, simbol muncul dalam bentuk lambang palu dan sabit, berupa
artefak bendera, atribut, dan lainnya. Peran Artefak dalam Pertukaran
Informasi yaitu: -Sebagai simbol wilayah kekuasaan & sosial -Sebagai simbol penguat kesatuan etnik -Sebagai simbol pemeliharaan dan penguatan jaringan pencarian pasangan hidup -Sebagai simbol penguatan hubungan antar masyarakat -Sebagai simbol kedudukan struktural
Pada
awalnya, para buruh dan petani menyampaikan eksistensi mereka dalam
revolusi melalui simbol palu dan sabit. Simbol ini kemudian menjadi
identitas para pekerja kasar sebagai solidaritas, pemersatu dan penguat
hubungan antar masyarakat. Apabila revolusi yang dilakukan tidak
memunculkan simbol, maka akan sulit untuk menunjukkan keberadaan kaum
buruh dan petani di mata dunia, serta sulit untuk menggerakkan kaum
pekerja yang lain. Dengan demikian simbol palu dan sabit memiliki arti
penting dalam penyampaian pesan revolusi.
Besarnya pengaruh revolusi palu dan sabit mengakibatkan orang
mengidentikkan lambang palu dan sabit sebagai simbol pemberontakan.
Dalam perkembangannya, simbol palu dan sabit tidak hanya digunakan oleh
kaum pekerja tapi juga kaum borjuis (pelajar) saat menolak kebijakan
pemerintah. Simbol ini juga digunakan oleh kaum sosialis yang menjunjung
tinggi kesetaraan status.
Tahun 1922, tentara merah meresmikan
simbol palu dan arit yang menyilang dimasukkan ke dalam lambang bendera
partai politiknya. Lambang ini memiliki makna bahwa partai komunis
menjunjung tinggi para pekerja kasar. Dari sini diharapkan pendukung
partai dapat dihimpun dari para buruh dan petani yang cenderung memiliki
massa lebih banyak. Simbol palu dan sabit berubah fungsi dan makna
sesuai dengan perkembangan jaman. Makna yang semula dikomunikasikan
melalui simbol palu dan sabit berubah interpretasinya sesuai dengan
kondisi jaman dan pengalaman sejarah.
Di Indonesia, sejak
peristiwa G 30 S PKI, simbol palu dan sabit menjadi tabu karena
diinterpretasikan dengan komunis yang ingin menghancurkan Indonesia dari
dalam. Namun setelah lengsernya pemerintahan orde baru, simbol palu dan
sabit mulai bermunculan lagi dalam berbagai bentuk dan lambang.
Interpretasi orang saat ini bisa beraneka macam terhadap simbol
tersebut. Ada yang mengartikan sebagai penganut komunis, penganut
sosialis, lambang revolusi, bentuk protes terhadap pemerintahan, dan
lainnya. Semua makna tidak salah, kembali ke pengertian simbol yang
memiliki banyak arti, dan hanya dipahami oleh manusia, sehingga yang
bersangkutan dituntun untuk memahami objek untuk mengetahui makna yang
terkandung dalam simbol tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar