Perang Jawa, Perang Besar Yang Luput jadi Pelajaran Sejarah
Dalam sejarah di belahan dunia mana pun, selalu terjadi perang antara
masyarakat yang lebih maju peradaban dan yang lebih primitif. Ada dua
model perang seperti ini, pertama pelakunya masih satu ras seperti suku
Maya dan Aztec yang menindas suku-suku lainya, seperti di film
Apocalypto.
Yang
kedua adalah model penjajahan seperti nasib bangsa Aborigin di
Australia dan Indian di Amerika, serta juga suku Maya dan Aztec di
tangan Spanyol. kualat!
Perang Jawa adalah perpaduan kedua model di atas, di satu sisi
merupakan perang antara ras suku Jawa tapi di sisi lain ada infiltrasi
dogma dan ideologi dari luar. Bisa juga disebut merupakan perang India
ke-2, atau lanjutan perang India tapi terjadi diluar India.
Kondisi politik di Jawa tahun 1500masehi sedang terpecah menjadi dua
kutub, utara dan selatan. Yang di pesisir utara sudah memeluk agama
Islam yang dibawa para pedagang dari India dengan Demak sebagai
representasi kerajaan. Sedang mereka yang di selatan masih tetap
menganut Hindu dan tunduk pada Majapahit.
Secara ekonomi, tahun 1500 M adalah tahun kejayaan Kepulauan
Nusantara. Nusantara menjadi penyuplai sekaligus pusat perdagangan
komiditas dunia terpenting yaitu rempah-rempah. Nilai rempah-rempah saat
itu seperti minyak bumi saat ini.
Dalam catatan Portugis bertahun 1480 M, pendiri Demak adalah orang
Tionghoa Muslim bernama Cek Ko Po yang kemudian digantikan putranya yang
bernama Pate Rodim. Walau berasas Tionghoa, Demak kemudian lebih akrab
dengan kerajaan Mughal di India karena hubungan perdagangan dan ideologi
agama. Ditambah lagi fakta bahwa Mughal selalu berusaha melebarkan
kekuasaan ke wilayah China sebagai bagian dari wasiat Timurlenk. Dan
mungkin juga karena ada pergantian Dinasti di China pada awal tahun
1500-an, Han ke Ming.
Keakraban Demak dan Mughal-India semakin mengental ketika perang
salib berlangsung dan berlakunya embargo rempah-rempah ke Eropa. Jalur
rempah-rempah pada masa itu dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Islam, mulai
dari timur tengah sampai sebagai pemasar ke Eropa sampai India dan
Nusantara sebagai sumber rempah-rempah.
Aksi embargo itulah yang akhirnya memaksa Bangsa Eropa berlayar mencari sendiri sumber rempah dan melakukan kolonialisasi.
Mughal mewarisi semangat Timurlenk dalam menyebarkan Islam. (Masih ingat kan? atau klik di sini)
Dinasti Islam India sebelum mughal, ditumpas habis oleh Timurlenk
karena tidak terlalu agresif menyebarkan Islam pada penduduknya. Demak
selalu mendapat provokasi dari Mughal untuk menyebarkan Islam ke seluruh
Jawa, bila perlu Majapahit ditumpas sekalian.
Provokasi semakin gencar ketika Kesultanan Ottoman Turki juga mulai
masuk ke Demak, Turki dan Mughal tidak pernah akur karena sejarah
Timurlenk. Mughal ingin terus menjaga kedekatan dengan Demak karenanya
dia ingin tampil sebagai pahlawan dalam perluasan wilayah Demak.
Para sunan yang saat itu kedudukanya sebagai penguasa wilayah (setara
gubernur), panglima perang sekaligus pemimpin spiritual sudah
berkali-kali mengadakan musyawarah dan menyetujui untuk menyerang
Majapahit. Tapi selalu saja kandas karena tidak mendapat restu dari
ketua para sunan, yaitu Sunan Ampel, Maulana Malik Ibrahim.
Sunan Ampel yang berkuasa di Surabaya, selalu menolak usulan itu. Dia selalu beralasan bahwa Majapahit bukan negara harby
yang mengobarkan perang ataupun menjadi ancaman pada Demak, lagipula di
dalam kekuasaan Majapahit orang-orang Islam bisa hidup dengan damai,
maka tidak ada pembenaran Syar’i untuk memeranginya.
“Jeng Sunan Ngampel mambengi, mring
para wali sedaya, lawan putra sedayane, rehning prabu Brawijaya, among
sesadyanira, mring para wali sedarum, pinadekkaken kewala”
(Sunan Ampel melarang semua para wali begitu juga semua putranya, karena Prabu Brawijaya menjaga para wali semuanya, membiarkan saja apa yang dilakukan para wali itu)
Sumber: Kitab Wali Sana – Babadipun Parawali yang bersumber dari Sunan Giri II. ditulis ulang dan diterbikan oleh Penerbit dan Toko Buku “Sadabudi” Solo, 1955
(Sunan Ampel melarang semua para wali begitu juga semua putranya, karena Prabu Brawijaya menjaga para wali semuanya, membiarkan saja apa yang dilakukan para wali itu)
Sumber: Kitab Wali Sana – Babadipun Parawali yang bersumber dari Sunan Giri II. ditulis ulang dan diterbikan oleh Penerbit dan Toko Buku “Sadabudi” Solo, 1955
Setelah Sunan Ampel wafat, perang akhirnya tidak bisa dibendung lagi.
Raden Fatah, Raja Demak saat itu yang sebenarnya putra mantu dan
aslinya kelahiran Majapahit pun tak sanggup membendung nafsu perang.
Setelah musyawarah para Wali dan disetujui Raden Fatah, agresi
pertama Demak dipimpin oleh Sunan Ngundung dengan 7.000 pasukan dan 40
modin dengan wakil panglima Amir Hamzah putera Sunan Wilis.
Agresi militer yang pertama ini pecah perang di daerah Tunggarana.
Pasukan Demak dihadang 11.000 pasukan Majapahit yang dipimpin Panglima
Gajah Sena. Walau akhirnya sukses menumpas Demak, tapi Majapahit
kehilangan sang Panglima Gajah Sena.
Demak akhirnya mundur dengan pasukan tersisa cuma 35 orang, tapi
Majapahit walau sepertinya menang tapi kehilangan panglima perang adalah
pukulan telak bagi pertahanan kerajaan dalam menghadapi agresi militer
kedua dari Demak.
Keputusan Demak berperang ini tidak serta merta ditaati oleh semua
orang Islam di tanah Jawa. Bathara Katong yang berkuasa di Ponorogo
(1485-1525M) menolak perang ini karena itu adalah melanggar wasiat Sunan
Ampel. Di Agresi Militer ke II, Bathara Katong lebih memilih berperang
dengan Majapahit melawan Demak.
Daftar rujukan:
1. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga jilid 1: Tanah di Bawah Angin, Pustaka Obor.
2. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, Pustaka Obor.
3. Sjamsudduha, Walisanga Tak Pernah Ada?, JP Books. (bersumber: serat drajat dan serat badu wanar)
4. Prof. Kong Yuanzhi, Cheng Ho: Muslim China, Pustaka Obor
5. Ratna S, H.Schulte, Perpektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, Pustaka Obor
6. Agus Sunjoto, Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar, LKiS Jogja. (merujuk pada serat-serat caruban/cirebon)
0 komentar:
Posting Komentar